Facebook Twitter RSS Feed
Powered by Blogger.

Apa Itu Foklor


Folklor
        Karya sastra adalah salah satu wujud kebudayaan, dan hasil dari kreatifitas manusia baik secara tertulis maupun lisan. Karya sastra tertulis misalnya prosa, puisi, cerpen, cerbung dan lain-lain. Adapun karya sastra lisan adalah karya sastra yang diwariskan turun temurun secara lisan, salah satu jenis karya sastra lisan adalah cerita rakyat. Fakta bahwa cerita lisan merupakan salah satu hasil kebudayaan adalah cerita lisan tidak bisa lepas dari masyarakat pendukungnya yang selalu senantiasa melestarikannya dari waktu ke waktu, karena kebudayaan yang mereka ciptakan mampu memberi suatu kepuasan tersendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.
 Cerita lisan lahir dari masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi lisannya. Cerita lisan bersifat anonim sehingga sulit untuk diketahui sumber aslinya serta tidak memiliki bentuk yang tetap. Cerita lisan sebagian besar dimiliki oleh masyarakat tertentu yang digunakan sebagai alat untuk menggalang rasa kesetiakawanan dan alat untuk memperkuat nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagai produk sosial cerita lisan mempunyai kesatuan dinamis yang bermakna sebagai nilai dan peristiwa pada jamannya (Goldman, dalam Sapardi Djoko Darmono, 1984:  42).
Cerita lisan dapat dikategorikan dalam ragam sastra lisan. Sastra lisan adalah karya sastra yang diwariskan turun-temurun secara lisan, salah satunya adalah cerita rakyat atau folklore. Folklore digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya : (1) folklore lisan (verbal folklore), (2) folklore sebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklore bukan lisan (non verbal folklore). (Brunvand, 1968:2-3) dalam James Danandjaja, 1984: 21).
1.      Folklor lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklore yang termasuk ke dalam kelompok  besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan title kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo, (c) pertanyaan tradisional, sepeti teka-teki, (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng, dan nyanyian rakyat.
2.      Folklor sebagian lisan adalah folklore yang bentuknya merupakan  campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang “modern” seringkali disebut takhyul itu, terdiri dari pertanyaan yang bersifat ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib seperti orang Kristen Khatolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau membawa rezeki, seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
3.      Folklor bukan lisan adalah folklore yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklore yang tergolong yang material antara lain : arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya). Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain : gerak isyarat tradisional (gesture), untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya). (James Danandjaja,  1984: 21-22)
. Cerita prosa rakyat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :
1. Mite (myth), adalah cerita prosa rakyat, yang benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau mahkluk setengah dewa, peristiwa terjadi didunia lain atau di dunia yang bukan kita kenal sekarang, dan terjadi masa lampau.
2. Legenda (legend), adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci, legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan sering kali dibantu oleh mahkluk-mahkluk gaib.
3. Dongeng (folktale) berupa cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. (Bascom, 1965b: 3-20 dalam James Danandjaja, 1984: 50)
A. Pengertian Cerita Rakyat
Cerita lisan sebagai bagian dari folklor merupakan bagian persediaan cerita yang telah mengenal huruf atau belum. Perbedaannya dengan sastra tulis yaitu sastra lisan tidak mempunyai naskah, jikapun sastra lisan dituliskan, naskah itu hanyalah merupakan catatan dari sastra lisan itu, misalnya mengenai gunanya dan perilaku yang menyertainya.(Elli Konggas Maranda, dalam Yus Rusyana 1981 : 10)
 Cerita rakyat adalah suatu karya sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap, atau dalam bentuk baku disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang lama. (James Danandjaja, 1984: 4)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa definisi cerita rakyat secara keseluruhan  adalah sebagian dari kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar secara turun-temurun, diantara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (James Danandjaja, 1984 :2)

B. Ciri-ciri dan Bentuk Cerita Rakyat
Cerita rakyat sebagai folklor mempunyai beberapa ciri pengenal yang membedakan dari kesusastraan secara tertulis, sebagai berikut.
1.      Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2.      Cerita rakyat memiliki versi yang berbeda-beda karena penyebarannya secara lisan.
3.      Cerita rakyat bersifat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
4.      Cerita rakyat anonim karena pengarangnya tidak diketahui lagi, maka cerita rakyat telah menjadi milik masyarakat pendukungnya.
5.      Cerita rakyat selalu menggunakan bentuk berpola yaitu menggunakan kata-kata klise, ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan dan mempunyai pembukuan dan penutupan yang baku. Gaya ini berlatar belakang kultus terhadap peristiwa dan tokoh utamanya.
6.      Cerita rakyat mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif, yaitu sebagai sarana pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
7.      Cerita rakyat mempunyai sifat-sifat prologis, dalam arti mempunyai logika tersendiri, yaitu tentu saja lain dengan logika umum.
8.      Cerita rakyat menjadi milik bersama dari suatu kolektif tertentu. Dasar anggapan ini sebagai akibat sifatnya yang anonym.
9.      Cerita rakyat bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatan kasar, terlalu spontan. ( James Danandjaja, 1984: 4)
Cerita rakyat memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di muka dan memiliki bentuk-bentuk seperti di bawah ini.
1.      Mite mengandung tokoh-tokoh dewa atau setengah dewa. Tempat terjadinya ditempat lain dan masa terjadinya jauh di masa purba.
2.      Legenda adalah cerita yang mengandung ciri-ciri hampir sama dengan mite. Tokoh dalam legenda tidak disakralkan oleh pendukungnya. Tokoh merupakan manusia biasa yang mempunyai kekuatan-kekuatan gaip, tempat terjadinya di dunia. Legenda tidak setua mite. Legenda menceritakan terjadinya tempat, seperti : pulau, gunung, daerah/desa, danau/sungai, dan sebagainya.
3.      Dongeng adalah cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh ketentuan tentang pelaku, waktu dan tepat. Dongeng hanyalah cerita khayalan belaka. (James Danandjaja, 1984: 50)

C. Fungsi Cerita Rakyat
Cerita rakyat memiliki fungsi sebagai berikut.
1.      Sistem proyeksi (pro jective system) sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.
2.      Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan.
3.      Alat pendidikan anak (paedagogical Devide).
4.      Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi. (James Danandjaja, 1984: 19)

D. Pengertian Mitos

            Mitos adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta  dianggap suci oleh yang empunya cerita, ditokohi oleh para dewa atau mahkluk setengah dewa (Bascom dalam James Danandjaja, 1984: 2)
Manusia dalam hidupnya akan selalu berhadapan dengan berbagai kejadian yang terjadi di alam sekitarnya. Banyak hal yang sukar dipercayai berlakunya, tetapi bagi penganutnya begitu mempercayai suatu mitos (Umar Yunus, 1981: 94)
            Mitos adalah suatu cerita yang benar dan menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan suatu yang suci, bermakna dan menjadi contoh model bagi tindakan manusia. Mitos bukan hanya merupakan pemikiran intelektual dan hasil logika, tetapi terlebih dulu merupakan orientasi spiritual dan mental yang berhubungan dengan Illahi (Hari Susanto, 1987: 91)
            Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang memberikan pesan berkenaan dengan masa lalu, ide, ingatan, dan kenangan atau keputusan yang diyakini (Barthes, 1981: 193).  Menurut Van peursen mitos berpijak pada fungsi mitos tersebut dalam kehidupan manusia. Mitos bukan sekedar cerita mengenai kehidupan dewa-dewa, namun mitos merupakan cerita yang mampu memberikan arah dan pedoman tingkah laku manusia sehingga bisa bersikap bijaksana (Van Peursen, 1976: 42)
            Keberadaan mitos dapat memberi suatu pengetahuan, bagaimana masyarakat penganutnya, menghadapi kehidupan dengan keyakinan yang mereka percayai, menjadikan mitos sesuatu yang sangat penting, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka, karena mereka percaya mitos tersebut memberi kegunaan dan manfaat bagi kehidupan.

E. Fungsi Mitos
            Menurut Van Peurseun, fungsi mitos ada tiga macam, yaitu menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan gaib, memberikan jaminan pada masa kini, dan memberikan pengetahuan pada dunia (Van Peursen, 1987: 37)
            Fungsi mitos yang pertama adalah menyadarkan manusia bahwa kekuatan-kekuatan ajaib, berarti mitos tersebut tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan mengusai alam dan kehidupan sukunya. Misal adalah dongeng-dongeng dan upacara-upacara mistis.
            Fungsi mitos yang kedua yaitu mitos memberikan jaminan masa kini. Misalnya pada bulan Sura, dilakukan suatu ritual tertentu atau upacara-upacara dengan berbagai tarian-tarian, seperti pada jaman dahulu, pada suatu kerajaan bila tidak dilakukan suatu upacara ritual akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Cerita serupa itu dipentaskan atau akan menampilkan kembali peristiwa yang telah terjadi. Sehingga usaha serupa pada jaman sekarang ini.
            Fungsi mitos yang ketiga adalah memberikan pengetahuan tentang dunia artinya fungsi ini mirip dengan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam alam pikiran modern, misalnya cerita-cerita terjadinya langit dan bumi (Van Peursen, 1976: 37)

Menurut Wiget (lihat Lauter, 1994), sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar yang melakukan evaluasi baik cara maupun isi pertunjukan; evaluasi bukan merupakan kesimpulan dari pertunjukan tersebut, melainkan merupakan sebuah kegiatan yang berlangsung yang tercermin dalam tingkat perhatian dan komentar.
Terdapat varitas yang sangat mengejutkan dari sastra lisan yang bertahan hidup di antara orang-orang pra-aksara, dan sebagaimana kata-kata tertulis muncul dalam sejarah, menunjukkan bahwa semua genre penting sastra yang muncul pada awal masyarakat beradab adalah: epos heroik, nyanyian pujaan untuk pendeta dan raja, cerita misteri dan supernatural, lirik cinta, nyanyian pribadi hasil meditasi, kisah cinta, kisah petualangan dan heroisme rakyat jelata, yang berbeda dari epos heroik kelas atas, satir, satir pertempuran, balada, dogeng tragedi rakyat dan pembunuhan, cerita rakyat, fabel, teka-teki, pepatah, falsafah hidup, himne, mantra-mantra, nyanyian misteri para pendeta, dan mitologi.
Dari berbagai varitas di atas, genre sastra lisan dapat klasifikasikan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi lisan, prosa lisan, dan drama lisan. Edi Sedyawati (lihat Pudentia, 1998) menyusun sebuah gradasi dari sastra lisan yang paling murni sastra hingga ke pertunjukan teater yang paling lengkap media pengungkapannya, yakni: murni pembacaan sastra (mebasan dan macapatan); pembacaan sastra disertai gerak sederhana dan atau iringan musik terbatas (cekepung dan kentrung); penyajian cerita disertai gerak tari (randai); dan penyajian cerita melalui aktualisasi adegan, dialog dan tarian pemeran, dan iringan musik (wayang wong, makyong, wayang gong, dan lain-lain).
Menurut Wiget, dalam banyak sastra lisan dunia, puisi lisan adalah nyanyian, seperti halnya mazmur-mazmur Daud, lirik-lirik Orpheus, maupun meditasi-meditasi Tecayahuatzin. Baik puisi lisan maupun prosa lisan Amerika terdapat dalam kesusastraan pribumi seperti puisi Zuni, Aztec, Inuit, Aleut, dan lain-lain; dan cerita-cerita dari suku-suku Indian Hitchiti, Zuni, Navajo, Lakota, Iroquois, dan lain-lain.
Perkembangan penelitian terhadap sastra lisan yang merupakan sastra rakyat dilakukan dengan menggunakan metode-metode historik-komparatif, historik-geografik, dan historik-struktural.
Menurut A Teeuw (1988), perkembangan dalam studi sastra lisan terutama yang menyangkut puisi rakyat antara lain dilakukan oleh Parry dan Lord. Hipotesis Parry dan Lord ternyata dapat dibuktikan dengan meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita. Dengan meneliti teknik penciptaan epos rakyat, cara tradisi tersebut diturunkan dari guru kepada murid, dan bagaimana resepsinya oleh masyarakat, Parry dan Lord berkesimpulan bahwa epos rakyat tidak dihafalkan secara turun-temurun tetapi diciptakan kembali secara spontan, si penyanyi memiliki persediaan formula yang disebut stock-in-trade, terdapat adegan siap pakai yang oleh Lord disebut theme, dan variasi merupakan ciri khas puisi lisan.
Sedangkan untuk melakukan penelitian terhadap teater rakyat dapat menggunakan metodologi kajian tradisi lisan. Dengan menggunakan metodologi kajian tradisi lisan, penelitian teater rakyat dapat dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada aspek kesastraannya saja tetapi juga mencakup aspek-aspek kebudayaan yang melingkupinya. Hal ini penting karena teater rakyat tidak hanya merupakan bagian dari sastra lisan tetapi juga bagian dari seni pertunjukan rakyat yang memiliki jaringan dengan berbagai unsur kebudayaan.

0 comments:

Post a Comment