Folklor
Cerita lisan
lahir dari masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi lisannya.
Cerita lisan bersifat anonim sehingga sulit untuk diketahui sumber aslinya
serta tidak memiliki bentuk yang tetap. Cerita lisan sebagian besar dimiliki
oleh masyarakat tertentu yang digunakan sebagai alat untuk menggalang rasa
kesetiakawanan dan alat untuk memperkuat nilai-nilai sosial budaya yang ada dan
berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagai produk sosial cerita lisan mempunyai
kesatuan dinamis yang bermakna sebagai nilai dan peristiwa pada jamannya
(Goldman, dalam Sapardi Djoko Darmono, 1984:
42).
Cerita lisan dapat dikategorikan dalam ragam sastra
lisan. Sastra lisan adalah karya sastra yang diwariskan turun-temurun secara
lisan, salah satunya adalah cerita rakyat atau folklore. Folklore digolongkan
kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya : (1) folklore lisan (verbal folklore), (2) folklore sebagian
lisan (partly verbal folklore), dan
folklore bukan lisan (non verbal
folklore). (Brunvand, 1968:2-3) dalam James Danandjaja, 1984: 21).
1.
Folklor lisan adalah folklore
yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklore yang termasuk
ke dalam kelompok besar ini antara lain
(a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional,
dan title kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah,
dan pemeo, (c) pertanyaan tradisional, sepeti teka-teki, (d) puisi rakyat,
seperti pantun, gurindam, dan syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite,
legenda, dan dongeng, dan nyanyian rakyat.
2.
Folklor sebagian lisan adalah
folklore yang bentuknya merupakan
campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat,
misalnya, yang oleh orang “modern” seringkali disebut takhyul itu, terdiri dari
pertanyaan yang bersifat ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai
makna gaib, seperti tanda salib seperti orang Kristen Khatolik yang dianggap
dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda
material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau membawa rezeki,
seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam
kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, adalah
permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta
rakyat, dan lain-lain.
3.
Folklor bukan lisan adalah
folklore yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan
secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni
yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklore yang tergolong
yang material antara lain : arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk
lumbung padi, dan sebagainya). Sedangkan yang termasuk yang bukan material
antara lain : gerak isyarat tradisional (gesture), untuk komunikasi rakyat
(kentongan tanda bahaya). (James Danandjaja,
1984: 21-22)
.
Cerita prosa rakyat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :
1. Mite (myth),
adalah cerita prosa rakyat, yang benar-benar terjadi serta dianggap suci
oleh empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau mahkluk setengah dewa,
peristiwa terjadi didunia lain atau di dunia yang bukan kita kenal sekarang,
dan terjadi masa lampau.
2. Legenda
(legend), adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite,
yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci, legenda
ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan
sering kali dibantu oleh mahkluk-mahkluk gaib.
3. Dongeng
(folktale) berupa cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi
oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.
(Bascom, 1965b: 3-20 dalam James Danandjaja, 1984: 50)
A. Pengertian Cerita
Rakyat
Cerita lisan sebagai bagian dari folklor
merupakan bagian persediaan cerita yang telah mengenal huruf atau belum.
Perbedaannya dengan sastra tulis yaitu sastra lisan tidak mempunyai naskah, jikapun
sastra lisan dituliskan, naskah itu hanyalah merupakan catatan dari sastra
lisan itu, misalnya mengenai gunanya dan perilaku yang menyertainya.(Elli
Konggas Maranda, dalam Yus Rusyana 1981 : 10)
Cerita rakyat adalah suatu karya sastra yang
lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk
relatif tetap, atau dalam bentuk baku
disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang lama. (James Danandjaja,
1984: 4)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa definisi
cerita rakyat secara keseluruhan adalah
sebagian dari kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar secara turun-temurun,
diantara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device) (James
Danandjaja, 1984 :2)
B.
Ciri-ciri dan Bentuk Cerita Rakyat
Cerita rakyat sebagai folklor mempunyai
beberapa ciri pengenal yang membedakan dari kesusastraan secara tertulis,
sebagai berikut.
1.
Penyebaran dan pewarisannya
dilakukan secara lisan yaitu disebarkan dari mulut ke mulut dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
2.
Cerita rakyat memiliki versi
yang berbeda-beda karena penyebarannya secara lisan.
3.
Cerita rakyat bersifat
tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar
disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
4.
Cerita rakyat anonim karena
pengarangnya tidak diketahui lagi, maka cerita rakyat telah menjadi milik
masyarakat pendukungnya.
5.
Cerita rakyat selalu menggunakan
bentuk berpola yaitu menggunakan kata-kata klise, ungkapan-ungkapan
tradisional, ulangan-ulangan dan mempunyai pembukuan dan penutupan yang baku . Gaya ini berlatar belakang kultus terhadap
peristiwa dan tokoh utamanya.
6.
Cerita rakyat mempunyai kegunaan
dalam kehidupan kolektif, yaitu sebagai sarana
pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan
terpendam.
7.
Cerita rakyat mempunyai
sifat-sifat prologis, dalam arti mempunyai logika tersendiri, yaitu tentu saja
lain dengan logika umum.
8.
Cerita rakyat menjadi milik
bersama dari suatu kolektif tertentu. Dasar anggapan ini sebagai akibat
sifatnya yang anonym.
9.
Cerita rakyat bersifat polos
dan lugu, sehingga sering kali kelihatan kasar, terlalu spontan. ( James
Danandjaja, 1984: 4)
Cerita rakyat memiliki ciri-ciri seperti yang telah
disebutkan di muka dan memiliki bentuk-bentuk seperti di bawah ini.
1.
Mite mengandung tokoh-tokoh
dewa atau setengah dewa. Tempat terjadinya ditempat lain dan masa terjadinya
jauh di masa purba.
2.
Legenda adalah cerita yang
mengandung ciri-ciri hampir sama dengan mite. Tokoh dalam legenda tidak
disakralkan oleh pendukungnya. Tokoh merupakan manusia biasa yang mempunyai
kekuatan-kekuatan gaip, tempat terjadinya di
dunia. Legenda tidak setua mite. Legenda menceritakan terjadinya tempat,
seperti : pulau, gunung, daerah/desa, danau/sungai, dan sebagainya.
3.
Dongeng adalah cerita yang
dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh ketentuan tentang
pelaku, waktu dan tepat. Dongeng hanyalah cerita khayalan belaka. (James
Danandjaja, 1984: 50)
C. Fungsi Cerita Rakyat
Cerita rakyat memiliki fungsi sebagai berikut.
1.
Sistem proyeksi (pro jective
system) sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.
2.
Alat pengesahan pranata-pranata
dan lembaga kebudayaan.
3.
Alat pendidikan anak
(paedagogical Devide).
4.
Alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat dipatuhi. (James Danandjaja, 1984: 19)
D. Pengertian Mitos
Mitos
adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita,
ditokohi oleh para dewa atau mahkluk setengah dewa (Bascom dalam James
Danandjaja, 1984: 2)
Manusia dalam hidupnya akan
selalu berhadapan dengan berbagai kejadian yang terjadi
di alam sekitarnya. Banyak hal yang sukar dipercayai berlakunya, tetapi bagi
penganutnya begitu mempercayai suatu mitos (Umar Yunus, 1981: 94)
Mitos
adalah suatu cerita yang benar dan menjadi milik mereka yang paling berharga,
karena merupakan suatu yang suci, bermakna dan menjadi contoh model bagi
tindakan manusia. Mitos bukan hanya merupakan pemikiran intelektual dan hasil
logika, tetapi terlebih dulu merupakan orientasi spiritual dan mental yang
berhubungan dengan Illahi (Hari Susanto, 1987: 91)
Mitos
adalah suatu sistem komunikasi yang memberikan pesan berkenaan dengan masa lalu,
ide, ingatan, dan kenangan atau keputusan yang diyakini (Barthes, 1981:
193). Menurut Van peursen mitos berpijak
pada fungsi mitos tersebut dalam kehidupan manusia. Mitos bukan sekedar cerita
mengenai kehidupan dewa-dewa, namun mitos merupakan cerita yang mampu
memberikan arah dan pedoman tingkah laku manusia sehingga bisa bersikap
bijaksana (Van Peursen, 1976: 42)
Keberadaan
mitos dapat memberi suatu pengetahuan, bagaimana masyarakat penganutnya,
menghadapi kehidupan dengan keyakinan yang mereka percayai, menjadikan mitos
sesuatu yang sangat penting, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka,
karena mereka percaya mitos tersebut memberi kegunaan dan manfaat bagi
kehidupan.
E. Fungsi Mitos
Menurut
Van Peurseun, fungsi mitos ada tiga macam, yaitu menyadarkan manusia bahwa ada
kekuatan gaib, memberikan jaminan pada masa kini, dan memberikan pengetahuan
pada dunia (Van Peursen, 1987: 37)
Fungsi
mitos yang pertama adalah menyadarkan manusia bahwa kekuatan-kekuatan ajaib, berarti mitos tersebut tidak
memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi
membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang
mempengaruhi dan mengusai alam dan kehidupan sukunya. Misal adalah
dongeng-dongeng dan upacara-upacara mistis.
Fungsi
mitos yang kedua yaitu mitos memberikan jaminan masa kini. Misalnya pada bulan
Sura, dilakukan suatu ritual tertentu atau upacara-upacara dengan berbagai
tarian-tarian, seperti pada jaman dahulu, pada suatu kerajaan bila tidak
dilakukan suatu upacara ritual akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Cerita serupa itu dipentaskan atau akan menampilkan kembali peristiwa yang
telah terjadi. Sehingga usaha serupa pada jaman sekarang ini.
Fungsi
mitos yang ketiga adalah memberikan pengetahuan tentang dunia artinya fungsi
ini mirip dengan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam alam pikiran
modern, misalnya cerita-cerita terjadinya langit dan bumi (Van Peursen, 1976:
37)
Menurut Wiget
(lihat Lauter, 1994), sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar yang
melakukan evaluasi baik cara maupun isi pertunjukan; evaluasi bukan merupakan
kesimpulan dari pertunjukan tersebut, melainkan merupakan sebuah kegiatan yang
berlangsung yang tercermin dalam tingkat perhatian dan komentar.
Terdapat varitas yang sangat mengejutkan dari sastra lisan yang bertahan
hidup di antara orang-orang pra-aksara, dan sebagaimana kata-kata tertulis
muncul dalam sejarah, menunjukkan bahwa semua genre penting sastra yang muncul
pada awal masyarakat beradab adalah: epos heroik, nyanyian pujaan untuk pendeta
dan raja, cerita misteri dan supernatural, lirik cinta, nyanyian pribadi hasil
meditasi, kisah cinta, kisah petualangan dan heroisme rakyat jelata, yang
berbeda dari epos heroik kelas atas, satir, satir pertempuran, balada, dogeng
tragedi rakyat dan pembunuhan, cerita rakyat, fabel, teka-teki, pepatah,
falsafah hidup, himne, mantra-mantra, nyanyian misteri para pendeta, dan
mitologi.
Dari berbagai varitas di atas, genre sastra lisan dapat klasifikasikan ke
dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi lisan, prosa lisan, dan drama
lisan. Edi
Sedyawati (lihat Pudentia, 1998) menyusun sebuah gradasi dari sastra lisan
yang paling murni sastra hingga ke pertunjukan teater yang paling lengkap media
pengungkapannya, yakni: murni pembacaan sastra (mebasan dan macapatan);
pembacaan sastra disertai gerak sederhana dan atau iringan musik terbatas
(cekepung dan kentrung); penyajian cerita disertai gerak tari (randai); dan
penyajian cerita melalui aktualisasi adegan, dialog dan tarian pemeran, dan
iringan musik (wayang wong, makyong, wayang gong, dan lain-lain).
Menurut Wiget,
dalam banyak sastra lisan dunia, puisi lisan adalah nyanyian, seperti halnya
mazmur-mazmur Daud, lirik-lirik Orpheus, maupun meditasi-meditasi
Tecayahuatzin. Baik puisi lisan maupun prosa lisan Amerika terdapat dalam
kesusastraan pribumi seperti puisi Zuni, Aztec, Inuit, Aleut, dan lain-lain;
dan cerita-cerita dari suku-suku Indian Hitchiti, Zuni, Navajo, Lakota,
Iroquois, dan lain-lain.
Perkembangan penelitian terhadap sastra lisan yang merupakan sastra rakyat
dilakukan dengan menggunakan metode-metode historik-komparatif,
historik-geografik, dan historik-struktural.
Menurut A Teeuw
(1988), perkembangan dalam studi sastra lisan terutama yang menyangkut puisi
rakyat antara lain dilakukan oleh Parry dan Lord. Hipotesis Parry dan Lord
ternyata dapat dibuktikan dengan meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti
yang dinyanyikan oleh tukang cerita. Dengan meneliti teknik penciptaan epos
rakyat, cara tradisi tersebut diturunkan dari guru kepada murid, dan bagaimana
resepsinya oleh masyarakat, Parry dan Lord berkesimpulan bahwa epos rakyat
tidak dihafalkan secara turun-temurun tetapi diciptakan kembali secara spontan,
si penyanyi memiliki persediaan formula yang disebut stock-in-trade, terdapat
adegan siap pakai yang oleh Lord disebut theme, dan variasi merupakan ciri khas
puisi lisan.
Sedangkan untuk melakukan penelitian terhadap teater rakyat dapat
menggunakan metodologi kajian tradisi lisan. Dengan menggunakan metodologi
kajian tradisi lisan, penelitian teater rakyat dapat dilakukan secara menyeluruh tidak
hanya terbatas pada aspek kesastraannya saja tetapi juga mencakup aspek-aspek
kebudayaan yang melingkupinya. Hal ini penting karena teater rakyat tidak hanya
merupakan bagian dari sastra lisan tetapi juga bagian dari seni pertunjukan
rakyat yang memiliki jaringan dengan berbagai unsur kebudayaan.
0 comments:
Post a Comment