Facebook Twitter RSS Feed
Powered by Blogger.

makalah mitologi/mitos jawa


MAKALAH MITOLOGI JAWA
MITOS NASI TUMPENG


  Sukroni
UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA
UNIVET SUKOHARJO
2012


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat tiada habisnya kepada seluruh umat-Nya terutama kepada kami penyusun makalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah untuk mata kuliah Mitologi Jawa dengan lancar.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada Dosen pembimbing kami yang telah membimbing kami pada mata kuliah Mitologi Jawa.
Sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, tidak ada kata yang dapat kami ucapkan selain kata maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun isi dari penulisan makalah ini. Kami sangat membutuhkan kritik dan saran para pembaca yang bersifat membangun demi penulisan makalah selanjutnya. Harapan kami semoga apa yang kami sajikan dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi seluruh pihak yang membaca. Dan semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada setiap hamba-Nya yang mau selalu berusaha dan belajar.
Sukoharjo, 01 September 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para dewa atau
makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kahyangan) pada masa
lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya.
Mitos juga disebut Mitologi, yang kadang diartikan Mitologi adalah cerita rakyat yang
dianggap benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Jadi, mitos adalah cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam. Mitos juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka dan sebagainya.
Masyarakat Jawa juga memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Sebenarnya hal itu bermula dari ilmu “titen”, yaitu ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan, terjadi terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga konstan berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa.
Masyarakat Jawa memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Selain itu masyarakat pintar meyimbolkan segala sesuatu, seperti halnya sego gunung atau lelabuhan merapi dan lain-lain, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan kejadian yang lain, pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini banyak mitos yang berkembang di tanah Jawa.



B. Rumusan Masalah
1. mengungkap mitos Nasi Tumpeng?
C. Tujuan Masalah
Dalam rumusan masalah diatas terdapat beberapa tujuan dan manfaat diantaranya:
1. Untuk mengatahui mitos-mitos yang berkembang ditanah jawa baik mitos mengenai hal-hal kecil maupun hal-hal yang besar.
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan metode studi teks (studi kepustakaan) dimana dalam penulisan makalah ini penulis melakukan kegiatan penelusuran dan penelaahan literature dari hasil data-data yang di peroleh dari buku-buku, internet, maupun majalah sehingga metode ini sangat menuntut ketekunan dan kecermatan pemahaman penulis.

BAB II
PEMBAHASAN
MITOS NASI TUMPENG
Setiap kali menghadiri upacara adat di Pulau Jawa, kita akan menjumpai makanan terbuat dari nasi yang berbentuk kerucut dengan hiasan sayur-sayuran dan lauk-pauk di sekelilingnya, makanan tersebut kita kenal dengan nama “nasi tumpeng”. Pada upacara-upacara adat di Jawa seperti acara selamatan yang berhubungan dengan siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan, dan kematian). Masyarakat Jawa menganggap nasi tumpeng sebagai “ubarampe” yang berarti ‘perlengkapan’, maksudnya yaitu nasi tumpeng berfungsi sebagai salah satu perlengkapan yang harus ada di dalam upacara adat, nasi tumpeng digunakan sebagai syarat agar acara yang dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar tanpa halangan apapun. Tidak diketahui kapan tepatnya kebiasaan memakai nasi tumpeng pada acara selamatan ini dimulai, tetapi berdasarkan mitos yang ada di kalangan masyarakat Jawa, nasi tumpeng merupakan simbol permohonan keberkahan kepada
Sang Pencipta Jagad Raya.
Nasi tumpeng dan perlengkapanya sebagai bentuk syukuran dan selamatan juga berkembang di desa saya dan tidak ada yang tau mengapa bentuk dari nasi harus mengerucut dan ada uborampenya di sekelilingnya, yang ada hanyalah tafsiran-tafsiran baru dari para ulama yang menghargai dan memperbolehkan upacara tersebut dengan tafsiran bahwa nasi tumpeng itu harus berbentuk kerucut karena, jaman dahulu para sesepuh atau orang tua terdahulu belum mengenal tulisan apalagi berdo'a sehingga disimbolkan dengan nasi tumpeng yang mengartikan hubungan manusia dengan tuhan dan perjalanan manusia semua berbeda dan berjalan sendiri-sendiri namun dari tujuan merekan berjalan hanyalah kepada sang pecipta jagad raya.
Dalam sebuah buku berbahasa Jawa Kuna yang berjudul Sekar Sumawur terdapat sebuah cerita yang merupakan cikal bakal penciptaan nasi tumpeng, cerita tentang para dewa yang mencari “air amrta” atau ‘air keabadian’. Kisah ini dimulai dengan berkumpulnya para dewa dan niat mereka untuk mendapatkan air amrta yang dapat memberikan kehidupan abadi bagi siapa saja yang meminumnya. Konon air amrta berada di laut yang bernama Samudra Manthana, dan untuk mendapatkannya harus mengebor laut tersebut. Setelah menyusun rencana, para dewa bersiap-siap menuju tempat yang dimaksudkan.

Para dewa mengutus raja kura-kura raksasa atau dikenal dengan Raja Kapa-Kapa untuk memindahkan Gunung Mahameru ke tengah-tengah Samudra Manthana sebagai alat untuk mengebor laut, lalu Dewa Basuki segera melilitkan tubuhnya yang berwujud ular raksasa ke perut Gunung Mahameru sebagai tali pemutar gunung, Raja Kapa-Kapa berada di dasar gunung agar gunung tidak tenggelam, Dewa Indra berada di puncak gunung bertugas menekan gunung ketika mengebor samudra, sedangkan yang bertugas untuk memutar gunung adalah para golongan dewa di bagian ekor Dewa Basuki, sedangkan golongan setengah dewa berada di bagian lehernya.
Pengeboran mulai dilakukan, semuanya sangat bersemangat bekerja. Ketika mereka sibuk memutar Gunung Mahameru, terjadi kepanikan luar biasa yang dialami oleh semua satwa yang menghuni gunung itu, pohon-pohon tumbang, hewan-hewan berlarian tidak tentu arah, semuanya bergulingan dan akhirnya jatuh ke samudra, tidak hanya hewan-hewan dan pepohonan yang berada di gunung saja, ikan-ikan juga bermunculan di permukaan laut akibat proses pengeboran samudra.
Cukup lama mereka mengebor Samudra Manthana, tetapi tidak juga muncul air amrta itu, Dewa Basuki mulai lelah dan akhirnya menghembuskan nafasnya yang beracun ke arah para golongan setengah dewa, mereka yang tidak bisa bertahan akhirnya mati karena menghirup racun Dewa Basuki. Dewa Brahma mulai gusar dengan yang dialami oleh para golongan setengah dewa, akhirnya Dewa Siwa mengambil tindakan dengan menghirup seluruh racun Dewa Basuki yang menyelimuti tempat itu dan menyimpannya di tenggorokannya, inilah mitos mengapa leher Dewa Siwa berwarna biru.
Tidak lama kemudian muncul cahaya berkilauan dari dalam Samudra Manthana, lama-kelamaan cahaya itu kemudian berubah menjadi sebuah guci emas berisi air amrta dan seekor kuda sakti bernama Uccaisrawa. Dewa Brahma segera mengambil air amrta dan memercikkannya kepada seluruh golongan setengah dewa yang mati, seketika itu pula mereka yang mati akhirnya dapat hidup kembali. Demikianlah cerita yang merupakan mitos latar belakang terciptanya nasi tumpeng.
Dengan bentuk penglihatan yang berbeda bahwa bentuk nasi tumpeng yang dipakai saat ini adalah hasil adaptasi dari cerita Samudra Manthana. Tumpeng berbentuk kerucut adalah simbol Gunung Mahameru, kacang panjang yang dililitkan disepanjang kerucut sebagai simbol Dewa Basuki, cabe merah di puncak kerucut sebagai simbol Dewa Indra, sayur-sayuran dan lauk-pauk yang berada di sekeliling kerucut adalah simbol hewan-hewan dan pepohonan yang berjatuhan ke laut, sedangkan tampah yang diberi alas daun pisang adalah simbol samudra Manthana. Namun masyarakat hanya sebagian kecil yang mengetahui adanya cerita di balik munculnya nasi tumpeng yang hingga sekarang bentuk upacara dengan menggunakan nasi tumpeng tersebut masih dijalankan di tengah-tengah masyarakat jawa, namun demikian pandangan masyarakat sekarang ialah bahwa bentuk upaca tersebut merupakan bentuk rasa bersyukur atau meminta keslamatan kepada sang khalik dengan sodakoh nasi berbentuk tumpeng dan uborampenya sebagai simbol melestarikan budaya lama, tanpa maksud menduakan Tuhan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebenarnya mitos bermula dari ilmu “titen”, yaitu ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan, terjadi terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga konstan berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa.
Masyarakat Jawa memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Selain itu masyarakat pintar meyimbolkan segala sesuatu, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan kejadian yang lain, pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini banyak mitos yang berkembang di tanah Jawa.
B. Saran
Jangan memanggap mitos sebagai suatu hal yang sakral yang menyebabkan pada suatu yang sirik, boleh percaya hanya sebagai pengingat atau pencegah dari hal-hal yang tidak baik. Karena tidak semua mitos itu membawa hal yang buruk. Karena semuanya harus kita kembalikan pada Allah SWT.

 










Pembuatan Bokashi Jerami Padi


Pembuatan Bokashi Jerami Padi
-         Bahan-bahan untuk ukuran 1000 kg bokashi :
1.
Jerami padi yang telah dihaluskan
=
500 kg
2.
Pupuk kotoran hewan/pupuk kandang
=
300 kg
3.
Dedak halus
=
100 kg
4.
Sekam/Arang Sekam/Arang Kelapa
=
100 kg
5.
Molase/Gula pasir/merah
=
1 liter/250 gr
6.
EM-4
=
1 liter
7.
Air secukupnya



-         Cara Pembuatannya:
Membuat larutan gula dan EM-4
1.    Sediakan air dalam ember sebanyak 1 liter
2.    Masukan gula putih/merah sebanyak 250 gr kemudian aduk sampai rata
3.    Masukan EM-4 sebanyak 1 liter ke dalam larutan tadi kemudian aduk hingga rata.

Membuat pupuk bokashi
1.    Bahan-bahan tadi dicampur (jerami, pupuk kandang, arang sekam dan dedak) dan aduk sampai merata
2.    Siramkan EM-4 secara perlahan-lahan ke dalam adonan (campuran bahan organik) secara merata sampai kandungan air adonan mencapai 30 %
3.    Bila adonan dikepal dengan tangan air tidak menetes dan bila kepalan tangan dilepas maka adonan masih tampak menggumpal
4.    Adonan digundukan diatas ubin yang kering dengan ketinggian minimal 15-20 cm
5.    Kemudian ditutup dengan karung berpori (karung goni) selama 3-4 hari
6.    Agar proses fermentasi dapat berlangsung dengan baik perhatikan agar suhu tidak melebihi 500 C, bila suhunya lebih dari 500 C turunkan suhunya dengan cara membolak balik
7.    Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan bokashi menjadi rusak karena terjadi proses pembusukan
Setelah 4-7 hari bokashi telah selesai terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik.