Facebook Twitter RSS Feed
Powered by Blogger.

Sekilas Tentang Raden Pandan Arang



Raden ageng pandan arang
Ki Ageng Pandanarang II adalah putra sulung dari Ki Ageng Pandan Arang I. Nama kecilnya adalah Raden Kaji. Ketika ayahnya meninggal, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Semarang, dengan nama abiseka Adipati Mangkubumi. Akan tetapi setelah selama 16 tahun memerintah, ia kemudian menyerahkan kedudukannya sebagai Adipati Semarang kepada adiknya yang bernama Raden Ketib. Selanjutnya ia menjalani hidupnya sebagai seorang mubalig di daerah Tembayat, sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Gunung Jabalkat yang juga terletak di daerah Tembayat.
Sejak kapan Raden Kaji mulai memegang jabatan sebagai Adipati Semarang, dapat dilihat dari masa meninggalnya Ki Ageng Pandanarang I. Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa, Ki Ageng Pandanarang I mangkat pada tahun 1418 Saka atau tahun 1496 Masehi, ditandai candra sengkala Mukniningrat Catur Bumi. Selanjutnya ia menyerahkan jabatannya kepada adiknya pada tahun 1434 Saka atau 1512 Masehi. Peristiwa itu diperingati dengan candra sengkala Rasa Guna Rasa Ningrat .Dengan demikian masa pemerintahan Raden Kaji atau Sunan Kesepuhan yang kemudian dikenal juga dengan nama Adipati Mangkubumi atau Ki Ageng Pandanarang II sebagai Adipati Semarang berlangsung selama sekitar 16 tahun, yakni dari tahun 1496 sampai tahun 1512 Masehi.
Mengapa Ki Ageng Pandanarang II mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Adipati Semarang dan kemudian pergi ke daerah Tembayat menjadi mubalig menyebarkan Islam di masyarakat sekitarnya, terdapat berbagai sumber yang berasal dari serat dan babad.Tetapi semuanya menggambarkan tentang kesadaran diri Ki Ageng Pandanarang II yang pada masa memegang jabatan sebagai Adipati Semarang sangat materialistis dan sangat mementingkan keduniawian. Sifat tersebut sangat bertentangan dengan kehidupan Ki Ageng Pandanarang I, Adipati Semarang pertama, yakni orang tuanya yang membangun kota Semarang dan menyebarkan Islam di daerahnya. Dari salah satu sumber yakni Babad Demak, disebutkan bahwa Ki Ageng Pandanarang II pada masa hidupnya merupakan seorang syahbandar yang kaya raya. Banyak para pedagang di Semarang yang berhutang kepadanya. Walaupun demikian ia selalu berusaha menambah harta kekayaannya, karena itu dia dikenal sebagai seorang yang serakah dan mabuk harta. Namun demikian salah seorang Wali Songo yakni Sunan Kalijaga mengetahui bahwa Adipati Semarang tersebut kelak akan menjadi seorang mukmin yang sejati, hanya saja waktu itu hatinya belum terbuka. Karena itulah dalam rapat para wali di Masjid Demak ketika membicarakan soal pengganti Syekh Siti Jenar, maka Sunan Kalijaga menunjuk Pangeran Mangkubumi, Adipati Semarang yang kedua. Penunjukan Sunan Kalijaga terhadap Adipati Semarang yang kedua ini, telah membuat para wali tercengang. Karena itu Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa Pangeran Mangkubumi, Adipati Semarang yang dikenal sebagai seorang yang serakah tersebut ibarat intan yang masih bercampur lumpur, dan ia akan berusaha membersihkannya dan memang sudah saatnya dia berada di jalan Tuhan.
Nama Ki Ageng Pandanarang untuk Adipati Semarang yang kedua ini merupakan penghormatan bagi orang tuanya yang telah dikenal sebagai pendiri kota Semarang yakni Ki Ageng Pandanarang. Disebutkan bahwa lahirnya kota Semarang diawali pada tahun 1398 Saka atau tahun 1476 Masehi, yakni dengan kedatangan seorang pemuda di daerah Bukit Mugas dan Bergota, yang pada masa itu masih merupakan sebuah jazirah atau semenanjung yang termasyhur dengan nama Pulau Tirang. Ki Ageng Pandanarang, demikian nama pemuda itu, ia ditunjuk oleh Sunan Bonang untuk membuka tanah dan bertempat tinggal di Pulau Tirang, yang pada waktu itu mempunyai banyak teluk. Ki Ageng Pandanarang, putra Pangeran Sebrang Wetan atau cucu Panembahan Demak, menyanggupi tugas tersebut.
Ki Ageng Pandanarang kemudian menetap di sebuah daerah bernama Tirang Amper dan berhasil mengislamkan sejumlah orang penduduk yang bertempat tinggal di pulau Tirang tersebut. Setelah usahanya berhasil ia kemudian mendirikan pondok di daerah pengisikan. Banyak pengikutnya ikut pindah bersamanya. Daerah pemukimannya tersebut kian lama kian ramai, dan di kemudian hari disebut Semarang.

Perjalanan ki ageng pandan arang
Ke jabalkat

Bagaimana Ki Ageng Pandanang II pergi ke Jabalkat dan selanjutnya belajar ilmu keislaman kepada Sunan Kalijaga yang mengaku sebagai Syekh Malaya tersebut diuraikan dalam Babad Demak pada pupuh Kinanti. Uraian tersebut dimulai dari kepergian Ki Ageng Pandanarang II ke Jabalkat diikuti oleh salah seorang isterinya. Kalau Ki Ageng Pandanarang II tidak membawa sesuatu apapun, maka isterinya dengan diam-diam membawa tongkat yang berisi harta benda berupa emas dan bermacam-macam permata. Harta benda isterinya tersebut kemudian dalam perjalanan dirampok para penyamun, sehingga kedua laki isteri tersebut sama-sama sampai di Jabalkat tanpa membawa bekal apapun.
Dalam Babad Demak, yakni pada pupuh Kinanti tersebut  banyak digambarkan peristiwa  yang berkaitan dengan pengalaman Ki Ageng Pandanaran II selama dalam perjalanan dari Semarang menuju Jabalkat. Disebutkan antara lain bahwa Ki Agung Pandanarang II telah berhasil menyadarkan salah seorang dari penyamun yang bernama Sambang Dalan, sehingga yang bersangkutan kemudian mengabdikan diri kepadanya.  Sambang Dalan kemudian juga menjadi murid Sunan Kalijaga dan mengabdikan hidupnya untuk perkembangan ajaran Islam. Karena Sambang Dalan dulu pernah dikatakan sebagai domba  oleh Ki Ageng Pandanarang ketika ia mencoba merampas tongkatnya sewaktu dalam perjalanan dari Semarang ke Jabalkat, sehingga Sambang Dalan kemudian mendapat julukan sebagai Syekh Domba.                   
Setelah 35 hari Ki Ageng Pandanarang bersama isteri dan Sambang Dalan berada di Jabalkat Sunan Kaljaga datang. Dalam Babad Demak pada pupuh Kinanti disebutkan juga bahwa ketika Ki Ageng Pandanarang bersama isteri dan Sambang Dalan sampai di Jabalkat, di puncak gunung itu mereka menemukan bangunan kecil yang disebut sebagai “masjid” serta sebuah padasan kosong. Di bangunan itulah mereka bertemu dan bersujud  kepada Sunan Kalijaga. Ada dua hal yang kemudian digambarkan dalam pupuh tersebut, yakni Sunan Kalijaga menyuruh Sambang Dalan untuk bertobat kepada Yang Maha Kuasa agar kutukan “sebagai kambing” hilang dan bisa kembali sebagai mana  biasa. Di samping itu semenjak kedatangan Sunan Kalijaga ke puncak Jabalkat, telah didapat sumber mata air yang airnya mengalir dari puncak Jabalkat ke kaki gunung  tersebut.
Sesuai tujuan Ki Ageng Pandanarang datang ke Jabalkat untuk menimba ilmu kepada Sunan Kalijaga, maka ketika bertemu dengan Sunan Kalijaga tersebut Ki Ageng Pandanarang memohon untuk mendapatkan penjelasan tentang “hakikat manusia yang sesungguhnya”. Di samping itu Ki Ageng Pandanarang juga ingin tahu tentang asal–tujuan-akhir hidup manusia ini. Sehubungan dengan itu dalam Babad Demak  pada pupuh Kinanti disebutkan pula bahwa  Sunan Kalijaga kemudian mewariskan apa yang dinamakan  “ilmu hakiki”  kepada  Ki Ageng Pandanarang II.
Dalam masyarakat Jawa yang disebut ilmu hakiki adalah ajaran yang berkaitan dengan asal dan tujuan ciptaan Tuhan yang lebih populer dengan istilah ajaran mengenai sangkan paraning dumadi atau pamoring Kawula Gusti, artinya ajaran mengenai perpaduan antara hamba dan tuhannya. Ilmu tersebut diberikan Sunan Kalijaga kepda Ki Ageng Pandanarang sehubungan tugas khusus yang diberikan untuk mengislamkan penduduk di daerah Tembayat dan sekitarnya. Sebagai seorang mubalig di Jawa, khususnya di daerah Tembayat, yang merupakan sebuah daerah mistik, sudah barang tentu memerlukan bekal berupa wejangan-wejangan mengenai ilmu tasawuf, di antaranya mengenai sangkan paraning dumadi dan pamoring Kawula Gusti, yang pada masa itu merupakan ajaran-ajaran yang populer di kalangan masyarakat Islam.
Kata hakiki sendiri berasal dari kata hak yang berarti benar. Sedangkan hakiki berarti yang sebenarnya atau sesungguhnya. Karena itulah apabila Ki Ageng Pandanarang telah mewarisi ilmu hakiki dari Sunan Kalijaga, maka ia telah menerima segala ilmu tentang makhluk dan tentang Tuhan serta hubungan antara keduanya. Dalam Islam ilmu dimaksud meliputi ilmu syari’at, hakikat, dan makrifat. Ilmu syari’at mengatur segla perbuatan manusia. Bagi orang mukmin, Al Qur’an merupakan sumber utama dari syari’at Islam. Sedangkan ilmu hakikat, secara sederhana berati dasar atau sebenarnya. Seseorang yang senantiasa berpegang pada ilmu ini selalu mengembalikan  segala akibat perbuatannya atau hasil uasahanya kepada kekuasaan dan kehendak Tuhan. Sementara dalam ilmu makrifat seseorang bisa meningkatkan penyerahan diri kepada Tuhan sehingga mencapai tingkat keyakinan yang kuat, yang disebut sufi.         
Setelah berhasil mewarisi ilmu dari Sunan Kalijaga dan mendapat tugas untuk mengislamkan penduduk di daerah Tembayat dan sekitarnya, sebelum meninggalkan Jabalkat Sunan Kalijaga memberikan nama kepada kepada Ki Ageng Pandanarang sebagai Sunan Bayat atau Tembayat.
Dalam masa kegiatan menyebarkan ajaran Islam di masyarakat Sunan Bayat juga mempunyai beberapa orang murid. Dalam Babad Nagri Semarang disebutkan bahwa ketika menetap di Tembayat, Sunan Bayat telah mempunyai banyak santri yang di antaranya juga mereka yang berasal dari Semarang. Salah seorang dari santri tersebut bernama Kyai Ageng Gribig putra Prabu Brawijaya V. Sedangkan dalam Serat Centini disebutkan pula seorang murid Sunan Bayat yang bernama Syekh Sekar Delima. Nama tersebut adalah julukan yang diberikan Sunan Bayat, sedangkan nama aslinya adalah Raden Jaka Bluwo, yakni juga salah seorang dari putra Prabu Brawijaya V. 
Kepada murid-muridnya tersebut Sunan Bayat memberikan pelajaran meliputi mengaji Al Qur’an, juga mengajarkan ilmu usuludin, ilmu fikih dan tasawuf. Sedangkan untuk mengislamkan masyarakat di daerah Tembayat dan sekitarnya Sunan Bayat lebih dahulu menyamar sebagai penduduk biasa. Dalam Babad Demak pada pupuh Dhandhanggula disebutkan suatu ketika Sunan Bayat pergi menyamar sebagai seorang abdi kepada seorang penjual serabi di Desa Wedi bernama Nyahi Tesik. Suatu hari ia ikut membantu berjualan di pasar Wedi. Ia membawa adonan dan air dalam tempayan, tetapi sebagian dari kayu api tidak terbawa. Karena jualannya laku, Nyahi Tesik kehabisan kayu bakar. Karena itu ia marah kepada abdinya yang ternyata tidak banyak membawa kayu api, sehingga ia berucap apakah tanganmu yang akan kau pakai untuk menggantikan kayu api tersebut. Abdinya ternyata siap tangannya dijadikan kayu api, sehingga Nyahi Tesik gemetar dan besegera menghabiskan jualannya. Peristiwa luar biasa itu menjadi perhatian orang banyak yang ada di pasar. Setelah di rumah, Nyahi Tesik menceritakan peristiwa itu kepada suaminya. Ki Tesik merenung, kemudian ia menyadari kalau mereka diabdi oleh seorang wali. Sehingga Ki Tesik dan Nyahi Tesik memohon ampun kepada Sunan Bayat. Sunan Bayat menerima dan memaafkannya dan mendoakan agar dagangannya selalu laris, serta berpesan kepada Ki Tesik agar anak cucunya beriman kepada Tuhan.  Ketika Sunan Bayat kembali ke Tembayat, Ki Tesik beserta isteri dan anak cucunya mengikutinya. Di Tembayat Ki Tesik dan keluarganya diajari tata cara syari’at Islam. Setelah dianggap cukup, Sunan Bayat menyuruh Ki Tasik dan keluarganya kembali ke Wedi dan menugaskannya untuk mengislamkan anak cucu penduduk di Wedi dan sekitarnya.  


Unsur Instrinsik Dan Ekstrinsik
Tema
            Tema pada cerita pertama ialah penjelasan tokoh raden pandan arang dan penjelsan raden pandan arang mundurnnya dari jabatan adipati dan lebih memilih menyebarkan agama di tembayat. Sedangkan pada cerita kedua dijelaskan tentang perjalanan raden pandan arang untuk menyebarkan agama yang dibawannya dari semarang ke tembayat, persinggahan terakhir raden pandan arang hingga akhir hayatnnya.
Tokoh
Dalam cerita pertama di jelaskan sifat kesombongan atau antagonisnnya raden pandan arang hingga disadarkan oleh sunan kali jaga sebagai pengganti syech siti jenar. Kemudian dalam cerita kedua sych domba, syech ngewel, dan wanita tua, para tokoh tersebut cenderung bersifat serakah dan suka bohong hingga penyesalan itu tiba dan bertobat. Sedangkan nyi ageng lebih bersifat pengeluh karena jauhnnya perjalanan, dan raden pandan arang lebih bersifat pendiam dan bersiteguh untuk sampai di tembayat walau perjalanan itu cukup jauh dan melelahkan.
Konflik
Konflik  yang dialami dalam cerita pertama lebih bersifat eksternal saat sunan kali jaga mengusulkan adipati pandan arang menjadi pengganti syech siti jenar dan saat sunan kali jaga menyadarkan adipati pandan arang. Sedangkan pada cerita kedua lebih pada internal dan eksternal saat ia sampai di sala tiga (nama sekarang) saat di rampok orang dan saat tersesat dalam perjalanan sedangkan konflik internal dialami pada saat istri raden pandan arang mengeluh karena jauhnnya perjalanan.
Plot
Setting pada cerita pertama beralur maju-mungdur dan pada cerita kedua beralur maju-maju.
Setting
Setting pertama berawal dari lingkungan keraton semarang saat raden pandan arang menjadi bupati hingga  saat sunan kali jaga mengusulkan raden pandan arang sebagai pengganti syech siti jenar di demag hingga raden pandan arang berhasil di sembuhkan dari sifat serakah oleh sunan kali jaga dan berhasi menyebarkan agama di tirang amper sebelum melakukan perjalanan ke tembayat.
Kemudian pada cerita kedua diawali dari perjalanan raden pandan arang dari semarang hingga salatiga saat ia di rampok oleh syech dmba dan kawanannnya yang kemudian dilanjutkan di desa yang dekat dengan tembayat saat ia bertemu wanita tua yang memiliki sifat  bohong hingga berakhirnnya raden pandan arang dan tinggal di tembayat dan menyebarkan agama islam disana.
Amanat
Nilai yang terkandung dalam cerita pertama dan ,kedua sangat banyak diantarannya sifat mencintai dunia dan serakah yang mengakibatkan berubah wujudnnya yang dialami syech domba, serta keyakinan dan cita-cita memang sangatlah sulit di capai karena banyaknnya halangan dan rintangan dan orang yang teguh, konsekuen, sabar akan membawa keberhasilan yang diinginkan.
Unsur ekstresnsik
 Nilai moral
Dalam cerita diatas dapat diambil nilai moral bahwa sifat sombong, bohong, dan serakah akan mengakibatkan kesengsaraan dalam hidup.

0 comments:

Post a Comment