MAKALAH
MITOLOGI JAWA
MITOS
NASI TUMPENG
Sukroni
UNIVERSITAS
VETERAN BANGUN NUSANTARA
UNIVET
SUKOHARJO
2012
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat tiada habisnya kepada seluruh umat-Nya terutama kepada kami
penyusun makalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan
makalah untuk mata kuliah Mitologi Jawa dengan lancar.
Selanjutnya
ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada Dosen
pembimbing kami yang telah membimbing kami pada mata kuliah Mitologi
Jawa.
Sebagai
manusia yang tak luput dari kesalahan, tidak ada kata yang dapat kami
ucapkan selain kata maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat kesalahan baik dari segi penulisan
maupun isi dari penulisan makalah ini. Kami sangat membutuhkan kritik
dan saran para pembaca yang bersifat membangun demi penulisan makalah
selanjutnya. Harapan kami semoga apa yang kami sajikan dapat
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi seluruh pihak yang
membaca. Dan semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada setiap
hamba-Nya yang mau selalu berusaha dan belajar.
Sukoharjo, 01 September 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mitos atau mite (myth)
adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para dewa atau
makhluk setengah dewa
yang terjadi di dunia lain (kahyangan) pada masa
lampau dan dianggap
benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya.
Mitos juga disebut
Mitologi, yang kadang diartikan Mitologi adalah cerita rakyat yang
dianggap benar-benar
terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para
dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Jadi, mitos adalah
cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang
diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam.
Mitos juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan
mereka, kisah perang mereka dan sebagainya.
Masyarakat Jawa juga memiliki ikatan
yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan
kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi
kejadian-kejadian lain. Sebenarnya hal itu bermula dari ilmu “titen”,
yaitu ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan, terjadi
terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga konstan
berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa.
Masyarakat Jawa
memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka
sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda
bagi kejadian-kejadian lain. Selain itu masyarakat pintar meyimbolkan
segala sesuatu, seperti halnya sego gunung atau lelabuhan merapi dan
lain-lain, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan kejadian yang lain,
pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini banyak
mitos yang berkembang di tanah Jawa.
B.
Rumusan
Masalah
1.
mengungkap mitos Nasi Tumpeng?
C.
Tujuan
Masalah
Dalam
rumusan masalah diatas terdapat beberapa tujuan dan manfaat
diantaranya:
1. Untuk
mengatahui mitos-mitos yang berkembang ditanah jawa baik mitos
mengenai hal-hal kecil maupun hal-hal yang besar.
D.
Metode
Penulisan
Metode yang digunakan
dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan metode studi
teks (studi kepustakaan) dimana dalam penulisan makalah ini penulis
melakukan kegiatan penelusuran dan penelaahan literature dari hasil
data-data yang di peroleh dari buku-buku, internet, maupun majalah
sehingga metode ini sangat menuntut ketekunan dan kecermatan
pemahaman penulis.
BAB
II
PEMBAHASAN
MITOS
NASI TUMPENG
Setiap
kali menghadiri upacara adat di Pulau Jawa, kita akan menjumpai
makanan terbuat dari nasi yang berbentuk kerucut dengan hiasan
sayur-sayuran dan lauk-pauk di sekelilingnya, makanan tersebut kita
kenal dengan nama “nasi tumpeng”. Pada upacara-upacara adat di
Jawa seperti acara selamatan yang berhubungan dengan siklus kehidupan
(kelahiran, pernikahan, dan kematian). Masyarakat Jawa menganggap
nasi tumpeng sebagai “ubarampe” yang berarti ‘perlengkapan’,
maksudnya yaitu nasi tumpeng berfungsi sebagai salah satu
perlengkapan yang harus ada di dalam upacara adat, nasi tumpeng
digunakan sebagai syarat agar acara yang dilaksanakan dapat berjalan
dengan lancar tanpa halangan apapun. Tidak diketahui kapan tepatnya
kebiasaan memakai nasi tumpeng pada acara selamatan ini dimulai,
tetapi berdasarkan mitos yang ada di kalangan masyarakat Jawa, nasi
tumpeng merupakan simbol permohonan keberkahan kepada
Sang
Pencipta Jagad Raya.
Nasi
tumpeng dan perlengkapanya sebagai bentuk syukuran dan selamatan juga
berkembang di desa saya dan tidak ada yang tau mengapa bentuk dari
nasi harus mengerucut dan ada uborampenya di sekelilingnya, yang ada
hanyalah tafsiran-tafsiran baru dari para ulama yang menghargai dan
memperbolehkan upacara tersebut dengan tafsiran bahwa nasi tumpeng
itu harus berbentuk kerucut karena, jaman dahulu para sesepuh atau
orang tua terdahulu belum mengenal tulisan apalagi berdo'a sehingga
disimbolkan dengan nasi tumpeng yang mengartikan hubungan manusia
dengan tuhan dan perjalanan manusia semua berbeda dan berjalan
sendiri-sendiri namun dari tujuan merekan berjalan hanyalah kepada
sang pecipta jagad raya.
Dalam
sebuah buku berbahasa Jawa Kuna yang berjudul Sekar Sumawur terdapat
sebuah cerita yang merupakan cikal bakal penciptaan nasi tumpeng,
cerita tentang para dewa yang mencari “air amrta” atau ‘air
keabadian’. Kisah ini dimulai dengan berkumpulnya para dewa dan
niat mereka untuk mendapatkan air amrta yang dapat memberikan
kehidupan abadi bagi siapa saja yang meminumnya. Konon air amrta
berada di laut yang bernama Samudra Manthana, dan untuk
mendapatkannya harus mengebor laut tersebut. Setelah menyusun
rencana, para dewa bersiap-siap menuju tempat yang dimaksudkan.
Para dewa mengutus raja kura-kura raksasa atau dikenal dengan Raja Kapa-Kapa untuk memindahkan Gunung Mahameru ke tengah-tengah Samudra Manthana sebagai alat untuk mengebor laut, lalu Dewa Basuki segera melilitkan tubuhnya yang berwujud ular raksasa ke perut Gunung Mahameru sebagai tali pemutar gunung, Raja Kapa-Kapa berada di dasar gunung agar gunung tidak tenggelam, Dewa Indra berada di puncak gunung bertugas menekan gunung ketika mengebor samudra, sedangkan yang bertugas untuk memutar gunung adalah para golongan dewa di bagian ekor Dewa Basuki, sedangkan golongan setengah dewa berada di bagian lehernya.
Para dewa mengutus raja kura-kura raksasa atau dikenal dengan Raja Kapa-Kapa untuk memindahkan Gunung Mahameru ke tengah-tengah Samudra Manthana sebagai alat untuk mengebor laut, lalu Dewa Basuki segera melilitkan tubuhnya yang berwujud ular raksasa ke perut Gunung Mahameru sebagai tali pemutar gunung, Raja Kapa-Kapa berada di dasar gunung agar gunung tidak tenggelam, Dewa Indra berada di puncak gunung bertugas menekan gunung ketika mengebor samudra, sedangkan yang bertugas untuk memutar gunung adalah para golongan dewa di bagian ekor Dewa Basuki, sedangkan golongan setengah dewa berada di bagian lehernya.
Pengeboran
mulai dilakukan, semuanya sangat bersemangat bekerja. Ketika mereka
sibuk memutar Gunung Mahameru, terjadi kepanikan luar biasa yang
dialami oleh semua satwa yang menghuni gunung itu, pohon-pohon
tumbang, hewan-hewan berlarian tidak tentu arah, semuanya bergulingan
dan akhirnya jatuh ke samudra, tidak hanya hewan-hewan dan pepohonan
yang berada di gunung saja, ikan-ikan juga bermunculan di permukaan
laut akibat proses pengeboran samudra.
Cukup
lama mereka mengebor Samudra Manthana, tetapi tidak juga muncul air
amrta itu, Dewa Basuki mulai lelah dan akhirnya menghembuskan
nafasnya yang beracun ke arah para golongan setengah dewa, mereka
yang tidak bisa bertahan akhirnya mati karena menghirup racun Dewa
Basuki. Dewa Brahma mulai gusar dengan yang dialami oleh para
golongan setengah dewa, akhirnya Dewa Siwa mengambil tindakan dengan
menghirup seluruh racun Dewa Basuki yang menyelimuti tempat itu dan
menyimpannya di tenggorokannya, inilah mitos mengapa leher Dewa Siwa
berwarna biru.
Tidak
lama kemudian muncul cahaya berkilauan dari dalam Samudra Manthana,
lama-kelamaan cahaya itu kemudian berubah menjadi sebuah guci emas
berisi air amrta dan seekor kuda sakti bernama Uccaisrawa. Dewa
Brahma segera mengambil air amrta dan memercikkannya kepada seluruh
golongan setengah dewa yang mati, seketika itu pula mereka yang mati
akhirnya dapat hidup kembali. Demikianlah cerita yang merupakan mitos
latar belakang terciptanya nasi tumpeng.
Dengan
bentuk penglihatan yang berbeda bahwa bentuk nasi tumpeng yang
dipakai saat ini adalah hasil adaptasi dari cerita Samudra Manthana.
Tumpeng berbentuk kerucut adalah simbol Gunung Mahameru, kacang
panjang yang dililitkan disepanjang kerucut sebagai simbol Dewa
Basuki, cabe merah di puncak kerucut sebagai simbol Dewa Indra,
sayur-sayuran dan lauk-pauk yang berada di sekeliling kerucut adalah
simbol hewan-hewan dan pepohonan yang berjatuhan ke laut, sedangkan
tampah yang diberi alas daun pisang adalah simbol samudra Manthana.
Namun masyarakat hanya sebagian kecil yang mengetahui adanya cerita
di balik munculnya nasi tumpeng yang hingga sekarang bentuk upacara
dengan menggunakan nasi tumpeng tersebut masih dijalankan di
tengah-tengah masyarakat jawa, namun demikian pandangan masyarakat
sekarang ialah bahwa bentuk upaca tersebut merupakan bentuk rasa
bersyukur atau meminta keslamatan kepada sang khalik dengan sodakoh
nasi berbentuk tumpeng dan uborampenya sebagai simbol melestarikan
budaya lama, tanpa maksud menduakan Tuhan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebenarnya mitos bermula dari ilmu
“titen”, yaitu ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan,
terjadi terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga
konstan berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa.
Masyarakat Jawa
memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka
sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda
bagi kejadian-kejadian lain. Selain itu masyarakat pintar meyimbolkan
segala sesuatu, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan kejadian yang
lain, pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini
banyak mitos yang berkembang di tanah Jawa.
B.
Saran
Jangan memanggap mitos
sebagai suatu hal yang sakral yang menyebabkan pada suatu yang sirik,
boleh percaya hanya sebagai pengingat atau pencegah dari hal-hal yang
tidak baik. Karena tidak semua mitos itu membawa hal yang buruk.
Karena semuanya harus kita kembalikan pada Allah SWT.